Sabtu, 07 Mei 2011

Burung Burung Bersayap Air: Citra Hitam Wanita di Wajah Hitam Lelaki

Djazlam Zainal 



Melalui kumpulan puisi pertamanya ini Dewi Nova membentang 47 buah puisi peta kekerasan terhadap perempuan yang terjadi tempat di Indonesia malah menerobos keluar negara seperti Bangkok dan Chengmai di Thailand dan Burma serta Sarawak di Malaysia. Pemetaan yang puitis ini dirakam dan dirangkum di sela-sela  tugasnya sebagai aktivis kemanusiaan yang berpindah-pindah. Puisi-puisi bukan hanya putis tetapi, menggigit, membuka mata rohani, membawa kita ke dunia kekerasan yang menyakitkan. Dan membakar kita untuk bersama sang penyair berpihak kepada perempuan yang menjadi korban. Tidak setakat berpihak, tetapi ikut berlawan. Ini adalah antara kata-kata yang tercatat di kulit belakang buku puisi Burung-Burung Bersayap Air (Penerbit JAKER, Jakarta, 2010) 


Dewi Nova Wahyuni, dilahirkan di  Pekebunan Teh, Kebupaten Bandung, pada tanggal 19 Nopember 1974. Pernah bermukim di Kupang ( 2001-2002 ) di Banda Aceh ( 2006-2008 ) Bangkok ( 2009 ) Selain melakukan perjalanan dan pekerjaan masyarakat di bidang perhatiannya migrasi, peace building, gender dan seksualitas, Dewi suka menari. Riset terakhirnya A reports on National Human Rights Institutions ( NHRI's ) work to evaluate and monitor state anti-trafficking responses in the Association of South- East Asian Nations ( ASEAN ) area ( 2009 ) 40 buah tulisan dipublikasikan di pelbagai media cetak dan on-line. Tulisannya tentang pengalaman organisasi perempuan membangun mekanisme pencapaian keadilan di Sumatera dan  Jawa. Dengan pengalaman sedemikian, ia dapat menandai penghayatan penting terhadap puisi-puisi Dewi Nova.

Puisi pertama dalam hal. 1, penyair mengkabarkan Berita Dari Aceh. Katanya,

malam ini
seorang perempuan
diperkosa di rumahnya
juga malam-malam sebelumnya
dan pada malam-malam hitam selanjutnya
atau.. suaminya ditahan
akan di DOR

kemarin
seorang perempuan ditemukan telah menjadi mayat
kedua payudaranya dipotong
juga lelaki yang dilindunginya
ia pun telah menjadi mayat

( Jakarta, 13 Januari 2004 )

Penyair telah memulai dengan ibu segala bencana. Sahihlah Aceh, adalah tempat petaka itu. Saya temui hal yang sama dalam novel Delima Ranting Senja, Siti Zainon Ismail ( Utusan Melayu, Kuala Lumpur, 2008 ) Katanya, 'memang mereka manusia laknat, serakah! Aku ibu hamil 7 bulan diperkosa di depan suami. Si Inep setengah gila, apabila puteranya sendriri dipaksa memperkosa di depan suami. Apa ini bukan setan namanya. Negara apa ini kalau segala tantera berhati babi. Puiiihhh... ' ( lih. Psikoanalisis Jacques Lacan Dalam Melihat Delima Ranting Senja, Fesbuk, Melaka, Djazlam Zainal, 2010 )

Aceh menjadi lapangan penyembelihan dan kekejaman. Wanita mangsa utama baik fizikal, mental atau pun rohani. Wanita yang melindungi rahsia keberadaan suaminya sebagai pejuang, akan diseksa dan dibunuh. Wanita yang telah sedia terdera mental dan seluruh rohaninya dengan berbagai peristiwa harus dihunjam derita fizikal. Ia diperkosa, diperlakukan sungguh tidak seperti manusia. Barangkali Berita Dari Aceh itu terus dilengkapi dengan Lelaki Bersenjata Itu, Kekasih ( hal. 6 )

........
Lelaki itu menemuiku dengan ' cinta '
malam itu, kami bersetubuh
ia berjanji menikahiku

....
Di Jabal Nur
dia memasukkan obat oborsi ke tubuhku
agar ia tidak dipecat kesatuan

Pernikahan itu tidak pernah terjadi

Aku menghiba pada lelakiku
dia memaksa dukun memasukkan kayu 30 cm
ke viginaku
aku pengsan
...

Cerita yang sungguh luarbiasa kejamnya. Suatu tragedi kemanusiaan yang tiada tolok bandingnya. Penyair melanjutkan.

...
Aku melaporkan ke PROVOSI
dan ia menuduhku wanita jalang
anakku gugur di rahimku
waktu umur 7 bulan 16 hari

Lelaki itu akan mengahwiniku
jika laporan ke PROVOSI aku cabut

Satu tahun berlalu
pengadilan militer tidak pernah terjadi
hanya surat pencabutan perkara
yang tidak pernah aku tandatangani

Demikianlah wanita di Aceh. Saya kira penyair telah menyatakan sesuatu yang tidak pernah terdengar di luar Aceh. Sementara di Aceh sendiri ia menjadi gagu hitam. Aceh adalah daerah perlawanan sejak Belanda, Cut Nyak Dien tampil sebagai srikandi Aceh. Apabila ia bersekutu dengan Indonesia, Aceh masih dibrandel oleh kerajaan pusat, inginnya hanya kerana Aceh menuntut kesamarataan etnik dan adat budaya dalam pentadbiran pusat Indonesia. Tuengku Hassan Tiro, wali dan pejuang yang mengisytiharkan kemerdekaan Aceh. Ketika persembunyiannya di hutan, di kantung Wali ada satu batu. Batu kecil seperti timah, tapi bukan timah. Wali bilang, emas ada, intan ada, bagaimana kayanya kita. Tapi diambil oleh Jawa. Itulah sebab kita berjuang (Hassan Tiro, The Unfinished Story  of Aceh, Bandar Publishing, 2010, hal. 129 )

Suara Rendra dalam Bersatulah Para Pelacur Kota Jakarta juga meresap dalam puisi, Kau Ambil Parang KamiKurampas Senjata Kalian! Lihatlah bagaimana penyair mencokol.

Ratusan perempuan
seperti rombongan kupu-kupu
memenuhi kebun
orang-orang berseragam
memoncongkan senjata api
pada tubuh mereka

" kau maju selangkah, kami maju dua langkah "
teriak perempuan

" Berhenti menebang pohon kopi, atau kami tetap
menghadang " perempuan mengacung parang

Puisi-puisi Dewi dalam Burung-Burung Bersayap Air sangat luarbiasa perlagaannya. Jarang saya temui sebuah kumpulan puisi yang terus-terusan menegangkan urat saraf seperti ini. Sengaja barangkali penyair memilih semua puisi dengan adengan gawat hingga dapat menampilkan sosok puisi dalam kumpulan ini sekaligus menyata pernyataan yang jelas perjuangan penyair.Burung-Burung Bersayap Air seperti ' killing field ' Amerika di Vietnam. DanPerang Sabil di Aceh pula.

Hendaknya kita harus jujur melihat sejarah Aceh sejak mula dan bagaimana Aceh menyambung semula tantangannya terhadap kerajaan pusat. Ini berkait dengan cara kerajaan pusat melayan Aceh. Cara ketidakadilan yang ditanggung oleh masyarakat Aceh, janji yang dikhianati, wajar untuk diamati kembali. Anugerah Allah terhadap Aceh atas ranah rencong harus dimanfaatkan kepada warga Aceh juga. Tetapi ternyata tidak terjadi begitu. Kekayaan Aceh dipungah, rakyat Aceh miskin kedana. Aceh dijadikan daerah operasi militer ( DOM ) dan keberadaan Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) mengulang kesilapan tindakan Gerakan 30 September 1965. Sehingga beberapa kasus diklim sebagai kegiatan GAM. Teungku-Teungku yang mengajar agama dianggap sebuah upaya makar mencuci otak. Peristiwa Teungku Bantaqiah, 23 Juli 1999 tidak terhitung nyawa yang terpadam. Sungguh ini dosa siapa?

Peristiwa yang melanda Aceh sungguh tidak berperi kemanusiaan. Selain Aceh, Bangkok dan Burma juga disebut. Sarawak di Malaysia tidak kurang menyita tinta hitamnya. Memperbudak-budak perempuan. Cumanya Dewi belum mengungsi di Malaysia. Silakan datang, dan buat penglihatan sendiri, agar semua kotoran yang dilicinkan di bawah carpet dapat dikemukakan.

Peristiwa di Bangkok, Dewi mulakan dengan ketakjupan China Town. Katanya,

Kubawa luka
ke China Town
sambil menatap aksara
tak termaknakan

Seorang perempuan cantik
meracik teh
pada teko dan cawan
aku meneguknya
laksana mentera

Namun  kepada Perempuan-Perempuan Patpong 1, Dewi menghunjam

Di Patpong
telah kau berikan
telanjang tubuhmu
dan aku melepuh
menghina diri

Lelaki berduit menjilati licin tubuhmu
seperti moyangnya mencecap teh, kopi, opium
dari ladang moyang kita

Ya, ini seperti sebuah pemerkosaan wanita. Tidak dihunjam hujung senjata, tetapi hujung dollar dan hujung moral manusia. Lebih parah Dewi mengerotikkan Perempuan Patpong 11.

bibir indahmu tak hanya membuka botol minuman
bibir indahmu menelanjangiku
pada mulut tempat aku lahir di dunia

Ini cerita dari negeri Uncle Thaksin yang Dewi mengungsi di dalamnya. Ini kelibat wanita dalam peta kekerasan Bangkok dan Chengmai.

Ini pula cerita biang di Sarawak, Malaysia. Perempuan Kapuas ( hal. 32 )

...
tiga tahun
perempuan Kapuas diperbudakkan di Sarawak
oleh bangsa serumpun dan seagama

perempuan Kapuas
ditendang setiap kali lengah.
diseksa setiap dianggap salah

hari ini
perempuan Kapuas, nangis di pangkuan Bunda
' mak, aku takut hamil '

Terpidana perempuan-perempuan di serata dunia. Apakah kerana wajah hitam lelaki, atau wanita hilang harga diri?

Daripada paparan Dewi, 2 persepsi terjadi. Wanita yang dikasari, dirogol dan disetubuhi secara paksa atau secara rela. Ada wanita yang memperagakan diri, wanita-wanita yang mengharap dollar dan lelaki hidung belang. Ada wanita yang berniaga atau bermain seks untuk kesukaan dan kepuasan diri dan orang yang disukainya dari kaum borguis. Namun penampilan Burung-Burung Bersayap Air adalah kelukaan wanita diterjahi pamor lelaki. Lelaki-lelaki seperti denak dan induk, boleh dikirim ke mana-mana, menujahkan hujung senjata aparat atau hujung kelelakiannya untuk sebuah perkosaan umat manusia.

Seakan sebuah resolusi dinyatakan dalam Perempuan Berumur Pendek

Hidup terlampau pendek
dilahirkan bervagina
diharapkan pelihara rumah
sekolah di kelas rendahan saja
...
Hidup terlampau pendek
diperkosa pembeli
dipajakin penguasa
sambil meneteki tukang ojeng, tukang warung
dan pemilik losmen
...
Hidup terlampau pedih
hidup terlampau lelah
hidup terlampau tidak adil

Begitu juga dengan sajak Perempuan Opium

Perempuan itu diberkahi cantik
seperti gunung-gunung subur di utara Thai
cemerlang menantang
laksana aliran sungai Mae Khong

Tak ada lelaki yang tak ingin rupa cinta
perempuan jalanan segala rupa cinta
bersetubuh dengan tujuh kekasih
gugur terbunuh dilawan adat

Dari tanah yang masih merah kuburnya
dari vagina yang ingin dikuasai manusia

Sebenarnya sangat ngeri membaca puisi-puisi dalam kumpulan ini. Perempuan dilecehkan. Perempuan dipergoki. Dalam konteks keseksaan perempuan Aceh ketika DOM amat beratnya. Zubaidah Djohar, menyatakan bahawa perempuan mengalami trauma yang hebat, kalau lelaki yang menjadi korban penembakan di mana-mana, perempuan kadangkalanya diperkosa terlebih dahulu sebelum dibunuh. Dan Zubaidah dalam hal ini sangat kecewa dengan apa yang berlaku kerana keamanan yang dilaung-laungkan ternyata tidak berbasit kepada penderitaan seksualitas wanita terpidana ketika DOM. (Perempuan Dalam Masyarakat Aceh, Logica-Arti-Pusli Iain Ar-Raniry, Banda Aceh 2010. hal. 123) Dewi memang mahu memberitahu dunia tentang teraniayanya wanita terutama di negara bencana seperti Aceh tetapi tidak lupa juga wanita teraniaya secara lugas di negara-negara sedang maju. Malaysia yang menggunakan tenaga manusia dari negara tetangga juga tidak terkecuali menambah-hitamkan perkosaan ini. Dan akan meluas lagi kalau Dewi Nova membuka pemetaannya di Asia Barat ( negara-negara Islam Arab ) dan Asia Timur ( Jepang dan Korea ) yang tidak kurang bahayanya tentang perkosaan wanita.


Sang Pengkisah Itu Terbang Bersama Burung Burung Bersayap Air

D Kemalawati 

Bagaimana membahasakan sebuah kisah tetapi tidak membuat orang berpaling membacanya bahkan menulis kembali dalam pikirannya menjadi kisah yang lebih panjang, lebih menusuk bahkan lebih berliku dari yang dibaca semula. Sungguh hal tersebut tak mudah bagi sembarang orang. Tidak juga bagi setiap orang yang bekerja sebagai penulis  kisah. Dan apa yang dibahasakan oleh  Dewi Nova dalam kumpulan puisinya ‘Burung-burung Bersayap Air’ (JAKER, 2010),  adalah suatu kepiawaian menulis kisah dalam kalimat-kalimat singkat yang kemudian berakhir dengan kisah yang panjang dan menetap dalam pikiran kita, para pembacanya.  

Membicarakan buku puisi Dewi Nova yang hanya memuat 47 judul puisi dengan tebal buku 60-an halaman,  berarti membicarakan kepiawaian Nova dalam mengkisahkan kembali apa yang dilihat, di dengar, dibaca ke dalam   untaian kata yang lugas, puitis, tajam dan menusuk. Kita pembaca dengan serta merta diajak masuk dalam kisahnya dengan membawa kembali kisah itu ke dalam pikiran kita. Mari kita simak sebuah berita dari Aceh (halaman 1) yang ditulis oleh Nova dengan judul dan isi tanpa basa-basi.


BERITA DARI ACEH

Malam ini
seorang perempuan
diperkosa di rumahnya
juga malam sebelumnya
dan pada malam-malam hitam selanjutnya
atau… suaminya dalam tahanan
akan di DOR!

Kemarin
seorang perempuan  ditemukan telah menjadi mayat
kedua payudaranya dipotong
juga lelaki yang dilindunginya
ia pun menjadi  telah mayat

Jakarta, 13 Januari 2004

Nova memulai dengan  menulis waktu, malam ini. Waktu memang begitu penting pada setiap pengkisahan baik lisan mau pun tulisan. Apa yang terjadi malam ini dikisahkan oleh Nova dengan bahasa  apa adanya, seorang perempuan diperkosa di rumahnya. Lalu malam sebelumnya,  malam sesudahnya  dan pada baris terakhir bait pertama  ‘ atau… suaminya di tahanan akan di DOR!.’  Apa yang ditulis Nova adalah kabar sebenarnya yang dia peroleh dari Aceh dan ditulisnya di Jakarta pada Januari 2004. Kalau menilik tanggal penulisan maka yang muncul dalam pikiran kita bagaimana situasi Aceh saat itu. Perempuan yang harus menerima perlakuan keji dari mereka yang seharusnya melindungi warganya. Lelaki Aceh dengan mudah di penjara meski kenyataannya dia hanya petani biasa atau pedagang kecil yang mencari sesuap nasi dengan keringat dan tenaganya yang tak seberapa. Dengan memenjarakan lelaki, maka perempuannya akan mudah diperkosa dan meski pun sudah sangat terhina masih harus pasrah lelakinya dipenjara dipulangkan tak nyawa. Dan yang lebih parah lagi bagaimana perempuan yang terpaksa melindungi lelaki harus  merelakan nyawanya dengan kedua payudaranya dipotong. 
Dari sebuah puisi yang ditulis Nova, kejadian-kejadian pahit yang dialami perempuan Aceh kembali hadir di memori kita. Lalu dengan serta merta kita kisah-kisah lain akan bermuara lalu mengalir  berakhir dalam  samudra pikiran kita.

Nova tak hanya berkisah dengan bahasa lugas tanpa basa-basi. Dengan bahasa yang lebih bersayap Nova mengisahkan kembali apa yang didengarnya dari perempuan-perempuan Aceh yang ditemukan di Bukit Janda. Dalam puisinya yang terpanjang  (hal, 9-13) yang di beri judul ‘Tutur Inong Aceh’  Nova kelihatan sangat piawai mengaduk-aduk emosi kita pembaca.  Simaklah bagaimana Nova memulai kisahnya

Waktu malam merambat
waktu rintik bergulir pada daun coklat
waktu kami duduk melingkar
waktu kami bertutur

Membaca bait pertama kita tak membayang kan betapa getirnya tutur inong Aceh yang akan dikisahnya pada bait-bait berikutnya.

Inong cantik:

Tulis Nova pada bait kedua.

Mereka membunuh suamiku
mereka menginterogasi dan menyiksaku
mereka menelanjangiku
pada masa DOM
pada masa DOM
pada masa DOM

Pada bait berikutnya dengan sangat lancar Nova mengkisahkan kembali apa yang didengarnya dari Inong Cerdik,  bagaimana ia menjadi penterjemah bahasa bagi mereka yang menyiksa Inong Cantik dan itu terjadi di rumah Inong Cerdik yang meski disebut cerdik tapi selama tiga bulan hanya memeras airmata. Semua tutur para perempuan dengan berbagai kisah ditandai Nova dengan memberi nama. Ia menyebut Inong Cinta sekaligus Inong Bale untuk perempuan yang menceritakan penderitaannya karena suaminya diculik.  Lalu dengan beberapa kalimat saja, Nova sudah mengkisahkan siapa tentera siang dan tentera malam, apa yang dilakukan tentera malam dan apa yang dilakukan tentera siang yang kesemuanya menggambarkan bagaimana terjepitnya Inong Cinta. Bagaimana Inong Cinta harus menerima kenyataan, ketika anak yang dipaksanya meninggalkan kampung   karena dia tak yakin mampu  melindungi nya dari jerat tentera siang mau pun tentrera malam, akhirnya menjadi korban tsunami. Nova menulis:

Di Banda, anakku dijemput tsunami
“Ibu tak bermaksud  untuk memilihmu antara tentera dan tsunami.”

Selain Inong cantik, Inong Cerdik, Inong Cinta, Nova juga mengkisahkan apa yang didengar dari inong tangguh. Ternyata tak semua lelaki meninggalkan perempuan karena menjadi milisi atau tentera malam. Nova menulis :

Inong Tangguh:
suamiku meninggalkan aku dan 6 anak
tidak untuk jadi milisi
tidak untuk jadi tentara malam
untuk menyelamatkan diri sambil menikahi
perempuan lain
dan melupakan kami.

Apa yang didengar Nova dari perempuan yang duduk melingkar itu sungguh suatu tragedy yang membekas dan tak mudah hilang dari ingatan. Tetapi sebagaimana memulainya, maka ketika menuntaskan tutur para perempuan itu,  Nova menulisnya dengan sangat bijak.

Waktu malam menyambut pagi
waktu hujan berhenti 
waktu pohon-pohon coklat tumbuh semakin subur  
waktu kami melanjutkan hidup di atas kaki sendiri.

Membaca kumpulan puisi Dewi Nova, Burung Burung bersayap Air, kita seperti berdiwana ke negeri-negeri dimana penderitaan para perempuannya terlihat jelas ke permukaan.  Menurut penulisnya sendiri, ke 47 puisi yang ada dalam antologi puisi ini memang sengaja dipilih  dari banyak puisi lain yang ditulisnya karena tema yang diangkatnya adalah kekerasan pada perempuan. Ya, Nova memang memilih jalan hidup sebagai aktifis perempuan, meski ianya sendiri  adalah seorang perempuan yang penuh kelembutan yang pernah sangat menderita karena penyakit tumor yang menyerang payudaranya. Dan harus  merelakan payudaranya dibedah berkali. Tentu bila kita membaca judul bukunya gambaran kekerasan yang menggetirkan itu sama sekali tak kelihatan. Tetapi hampir semua puisi yang ada dalam buku ini menggambarkan betapa perempuan dimana pun yang sempat didatanginya dicatat sebagai mahluk yang teraniaya, korban kekerasan bersenjata juga sebagai barang untuk diperdagangkan.

Di Poso, Dewi Nova mencatat dalam puisi ‘Lelaki Bersenjata itu, Kekasihku’ (hal, 6-7)  bagaimana seorang perempuan yang menyerahkan dirinya sebagai kekasih lelaki bersenjata. Lelaki yang dicintainya itu berjanji akan menikahinya. Hal itu tak pernah terjadi. lelaki yang harus  berpindah berkali itu selalu meminta perempuannya  datang hanya untuk menghamili dan menggugurkan kandungannya.Pernikahan itu tak pernah ada, tulis Nova.

Lelaki itu akan mengawiniku
jika laporan ke PROVOST aku cabut
satu tahun berlalu  
Peradilan militer tidak pernah terjadi
 Hanya surat pencabutan perkara
yang tak pernah aku tandatangani

Meski pun dibanyak  puisi Dewi Nova menulis tentang  perempuan yang teraniaya dan kalah, dalam puisi ‘Kau Ambil Parang kami, Kurampas Senjata Kalian’  (halaman 4) yang menurut saya sangat ispiratif, Dewi Nova menulis seperti juga dirasuki kekuatan jagat raya.

Ratusan  perempuan
seperti rombongan kupu-kupu
 memenuhi kebun
orang-orang berseragam
 memoncongkan senjata api
pada tubuh mereka

“Kau maju selangkah, kami maju dua langkah,”
 teriak perempuan
“Berhenti menebang pohon kopi, atau kami tetap menghadang,” 
perempuan mengacungkan parang

moncong senapan siap menerkam
dua perempuan menelanjangkan diri

“Kau ambil parang kami, kurampas senjata kalian!”
lawan perempuan

pasukan bersenjata mundur
ratusan perempuan menabuh gong
memanggil kekuatan jagat raya

Manggarai, 19 April 2004

Apa yang dialami perempuan TKI dikisahkan Nova dalam puisi ‘ Perempuan Kapuas’. Bagaimana perempuan Kapuas dijanjikan kerja 2 tahun, dilarang pulang 3 tahun. tak berani lapor ke KBRI, paspor ditahan majikan atas persetujuan pemerintah Indonesia. Tak terhitung banyaknya TKW  Indonesia yang menerima perlakuan tak selayaknya dari majikannya di luar sana. Dan kepada Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia ( ATKI), Dewi Nova menulis dengan sangat imajis mataforis.

BURUNG-BURUNG BERSAYAP AIR
Kepak-kepaklah sayapmu
dalam formasi mengumpul kekuatan
melukis langit dengan busur keadilan

rentang-rentangkanlah sayap airmu
menyuburkan perlawanan
di desa-desa yang kering
di kota-kota yang kejam

terbang-terbangkanlah sayapmu
melampaui bangsa-bangsa dan benua
sambil mengajari siapapun tak lebih tinggi
dari sesiapa
sambil luaskan pandang setiap benua
untuk semua bangsa.

Radio Dalam, Jakarta, 11 Mei 2010  

Demikianlah sang pengkisah yang bernama Dewi Nova Wahyuni yang lahir di Perkebunan Teh, Kabupaten Bandung, 19 Nopember 1974 telah menerbangkan kisah-kisah yang dilihat, didengar, dibaca melalaui Burung-Burung Bersayap Air. Dan telah hinggap pula di pikiran saya, pikiran para pembaca lainnya untuk kemudian menjelma sayap baru yang dipenuhi air. 

Selamat kepada sang penari  yang  selalu mengemulaikan diri dalam gerakan pencerahan kepada kaumnya . Terbang  dan rentangkan sayap airmu menyuburkan lahan-lahan perlawanan. . .

Banda Aceh, 22 Januari 2011

*Pengantar peluncuran buku puisi Dewi Nova, pada 22 Januari 2011 di Kedai Kopi Apa Kaoy, Banda Aceh

Memandang yang Kecil

Hudan Hidayat

saya terbiasa memandangi yang "kecil kecil", yang mungkin, kata orang, bukanlah tema yang bisa dibawa ke tengah menjadi tema utama. misal penjelas di belakang buku puisi penyair dewi nova: 

"dewi nova kini tinggal di pamulang, tangerang se...latan dan kini sedang berjuang mewujudkan mimpinya untuk makan nasi dari sawahnya sendiri."

semisal kata begitu, cukup membuatku sejenak berhenti, terdiam dan merenung mengapa, misalnya, atau apa yang ada di kata kata semacam itu, membuat aku terpikat? seperti saat aku terpikat membaca esai saut yang kukira amatlah lucu, lucu yang membuat aku bahagia membacanya, dari kedirian saut situmorang dalam laku dan lucu saat ia begitu pas mencontohkan kejadian sastra dalam esainya yang menawan itu: kritikus sastra? taik kucing!. 

saut menulis:

sebuah contoh lain, kata saut, saya bahkan pernah membaca sebuah buku 'kritik sastra' yang ditulis oleh seorang 'kritikus sastra' pedalaman di mana dalam salah satu bab bukunya itu dia mengajak pembaca untuk 'membuktikan' kemantraan puisi-mantra sutardji calzoum bachri dengan membacakannya ke buaya!"

saya tergelak oleh karena sudah sepanjang esai itu, saut dibuat kesal oleh ketakprofesionalan kritikus sastra kita (versi saut dan kukira, dengan tekanan yang agak lain, kataku juga), dan saat contoh ekstrem itu dituliskannya, bisalah kubayangkan kawan kita itu reaksinya, saat menyebutkan kata "buaya", sampai demikian rupa orang mengimani (?) suatu puisi dan hingga membacakannya ke buaya!

tak bisa saya menahan gelak saat membaca saut itu, pun saat saya memetik esai saut dalam upaya memadan dengan apa yang telah tadi saya letakkan.

mungkin itu nuans, yang hadir dari suatu momen - momen pembacaan. tapi kejadian dalam bahasa seperti itu - pada saut dan pada dewi, seperti kataku tadi, sering membuatku berhenti karena demikianlah mungkin sifat bahasa: sering mengajak kita stop dari pemandangan yang dibentangkannya. 

orang lain mungkin terpikat pada tema yang besar sekali, sedang diri jadilah melihat bahagia lucu kalimat kalimat aneh karena kejadiannya memang aneh: makan dari sawah sendiri, tidakkah itu suatu gerak aneh dari banjir diri yang ditarik oleh gedung gedung yang makin menjulang? atau seperti buaya yang diceritakan saut dalam esainya itu. tidakkah itu begitu jadi fantastis: seolah tak mungkin, tapi toh terlah terjadi sebagai fakta sastra.

itulah keadaannya kata: kadang tanpa sadar, pengarangnya tak tahu bahwa ia sedang membocorkan dunia yang membuat orang lain bahagia



kembali ke buku puisi dewi nova, banyak yang bisa dicatat dari kehadiran sebuah buku, juga untuk acara buku. katakanlah mungkin berguna bagi para penyair yang belum sempat memiliki buku, bahwa berbuka amatlah mudah, pun membuat acara lunc...urannya. kulihat di pds itu acara sederhana, tapi hening dalam arti: kelihatan suasana diskusi: serius. dan itu murah: tempatnya tak mahal. buku dewi pun adalah buku yang mungil, tapi indah. segera aku teringat frasa dari dunia ilmu sosial: kecil itu indah, kata schumacher.

ya buku dewi itu. indah, tapi kecil dalam arti tak menebal sebagai galibnya buku. latar cover dengan wajah penyair yang sederhana, apa adanya. bahkan mengesan seolah kehendak masa lalu, hendak dibangkitkan di sana: dewi di foto menyamping, dengan kepang rambut seolah remaja. tak penting mungkin yang beginian untuk sebuah topik puisi. tapi, mengapa tak penting? tidakkah puisi adalah kata dan tidakkah nama memuatkan kata - orangnya di balik nama, kata itu.

humanisme begini mungkin menjadi latar lembut untuk masuk ke sebuah buku, yang bercampur antara bahasa lembut dewi dengan kekerasan isi pusi. isi itu datang dari hidup yang keras yang diceritakan penyair.

kususur dari depan buku dewi, dan kuresapkan kata kata di judul itu: burung burung bersayap air. lama aku membalik dan melihat ke daftar isi dewi: tak kutemukan. di mana ditaruh puisi berjudul menggoda itu?

burung burung bersayap air, aku langsung teringat buku cerpen sutardji: hujan menulis ayam. hujan menulis ayam, bagaimana cara hujan melakukannya? seperti puisi dewi nova: bagaimana bentuk sayap burung itu? air. sayapnya dari air, kata judul puisi dewi, yang rupanya, tampak hendak dijadikan sebagai puisi utama dari buku puisi dewi.

ia ada di belakang sekali. pantas aku lambat menemukannya: tidak, ini retorik: telah kutemukan sejak awal, puisi ini, saat aku melihat dewi membalik keadaan: hendak memakan nasi dari sawahnya sendiri



tiga repetisi di dalam tiga baris puisi dewi: kepak kepaklah, rentang rentangkanlah, terbang terbangkanlah - itulah puisi burung burung bersayap air itu. dan repetisi (yang berhasil), kita tahu, bukan semata cara penyair membuat tekanan. ...tapi adalah menggandakan juga makna kata yang diulang ulang. seolah lagu dalam refrain: tenaga hendak naik. tapi di puisi naiknya tenaga itu langsung di hela dari awal baris puisi: kepak kepaklah sayapmu. sayap apa? sayap siapa? dewi tak sedang bercerita tentang burung fisik: semacam garuda pun. tapi semangat garuda itu ia pakai. garuda atau rajawali yang hendak terbang tinggi. karena itu dipanaskan oleh dewi ke seolah "pra-kata" dalam puisi: repetisi. dengan pengulangan didapatkan tekanan. tapi dengan pengulangan dimintakan tenaga bahasa menjadir motor pendorong, agar bahasa itu naik dan naik terus: kepak kepaklah.

artinya: janganlah turun lagi. kalau bukan burung maka kita langsung tahu dari kehendak judul kecil puisi burung burung bersayap air ini, adalah tribute for. itu untuk: atki - asosiasi tenaga kerja indonesia. jadi burung dalam puisi adalah manusia manusia yang diulang ulang oleh dewi dengan: kepak kepaklah, rentang rentangkanlah, terbang terbangkanlah. jadi manusia yang bernaung dalam identitas pekerja, jadi buruh, jadi manusia bukan burung tapi diberi fungsi dan peran seolah burung. dan itulah dunia lambang itu: manusia diminta seolah berdaya seperti burung. burung burung bersayap air, dari air yang menghidupkan. tapi juga bisa: dari mata air buruh yang disembunyikan. kini diminta dewi untuk hapus air matamu. terbanglah dengan rajawali kata (kata kata) ini.


Jangan Menulis Puisi Bisu

Putu Oka Sukanta

Nova, selamat atas terbitnya buku ini. Kepada Jaker saya sampaikan kegembiraan saya, karena lembaga ini yang pernah seperti akar dijepit batu, sekarang sudah menunjukkan kiprah keberadaannya melalui beberapa kegiatan diskusi dan penerbitan. Saya harap semakin banyak teman-teman muda yang mau nimbrung atau bergabung.


Dalam kesempatan ini saya tidak mengkritisi puisi-puisi Nova, tetapi menikmatinya untuk menyerap dan memperoleh pencerahan. Kritisi saya sudah dipampang di sampul belakang bukunya.



Menurut saya, puisi yang baik adalah puisi yang bisa dinikmati dan memberikan pencerahan.



Puisi sebagai sebuah kumpulan kata, harus mampu mengorganisasi dirinya agar makna setiap kata dapat mengungkapkan / mempresentasikan dirinya untuk dipahami oleh pembaca dan kemanusiaan, walaupun puisi merupakan hasil kreasi individu yang berdasarkan sudut pandang subyektif, puisi seharusnya bisa mengungkapkan nilai-nilai universal.



Hasil akhir sebuah puisi harus mampu mengedepankan obyektivitas (relaitif) atau esensi yang tersembunyikan di bawah sadar irama. Puisi pengungkapan mikro dan individual tetapi harus mampu merepresntasikan nilai-nilai makro yang universal dan berperspektif ke kemanusiaan. Sebab penyair dan pembaca adalah manusia, yang terjaring saling menghidupi dengan manusia lainnya dalam berbagai kondisi dan tujuan.



Puisi menurut saya tidak lengkap kalau hanya bisa dirasakan saja. Bahwa puisi pertama-tama menyentuh perasaan / emosi seperti halnya karya seni lainnya, itu benar. Tapi dari getar rasa yang dibangkitkan oleh makna kata dan irama, ia akan menjalar ke kesadaran rasio.Pembaca akan memperoleh kenikmatan dan pemahaman yang berakhir pada pencerahan.



Orang bisu yang cerdas dan cekatan dia tidak menjadikan kebisuannya sebagai hambatan untuk dipahami, bahkan orang bisu tersebut mampu memberikan pencerahan. Tetapi kalau puisi bisu, ia hanya dimengerti dan dinikmati oleh penulisnya (mungkin juga tidak) dan selebihnya ia memperdaya pembaca dengan kebisuannya untuk diposisikan sebagai puisi maha hebat, saking hebatnya sampai tidak ada orang yang bisa memahaminya. Puisi semacam ini saya sarankan untuk disimpan di dalam lacinya, sebab ini salah satu perangkap pembodohan.



Kata dalam sebuah puisi adalah pertikel / komponen yang paling halus dan hakiki.



Supaya partikel yang paling halus ini bisa bermakna dan merepresentasikan maknanya, maka ia memerlukan saling dukung dengan sesama kata, kata demi kata mengorganisasikan dirinya sehingga terwujud kesatuan puisi. Puisi harus dipahami sebagai sebuah kesatuan tema, pesan, lambang, kiasan, dan irama. Memahami puisi berarti memahami keutuhannya, menikmati puisi berarti menikmati sebuah organisasi kata, mendapatkan pencerahan dari puisi, berarti puisi tersebut mampu mengedepankan ide, paradigma dan sikap maupun pilihan.



Bagaiman dengan puisi-puisi Nova, silahkan dikritisi apakah Nova menulis puisi-puisi bisu, atau puisi yang berteriak sehingga gemanya memantul ke dinding-dinding hati pembacanya.(BO)